DROPDOWN

hotline

Kring St. Herman mengucapkan "Selamat memasuki masa Prapaskah tahun 2020"

teks

BANER BERJALAN

Minggu, 06 November 2016

INCULTURASI LITURGI

INKULTURASI LITURGI adalah suatu proses yang mengintegrasikan unsur-unsur yang relevan dr budaya lokal ke dlm liturgi Gereja lokal. Perlu di Ingat, inkulturasi adlh suatu “proses”, bkn karya yg sekali jadi. Msh perlu ditindaklanjuti melalui kritik & evaluasi. Suatu upaya yang tdk begitu mudah. Kalau dilakukan secara terburu-buru & kurang hati-hati tradisi liturgi yg otentik akan tercemar (PUMR 398). Mari kita diskusikan hal-hal apa yg sudah melenceng dari tradisi liturgi yg ortentik tsb, sesuai dengan apa yg kita ketahui di tempat kita masing-masing. supaya ada perbaikan-perbaikan/evalua​si. PENCERAHAN DARI PASTOR CHRISTIANUS HENDRIK SCJ Saya kira beberapa kata penting dari rumusan PUMR 398 itu perlu dimengerti secara serius: “mengintegrasikan”…”Pros​es, bukan karya yang sekali jadi”, …perlu ‘kritik dan evaluasi’… Salah satu kelemahan Gereja Katholik di Indo…nesia adalah bahwa kita masih lemah dalam menterjemahkan pemahaman teologis tradisi katolik ke dalam konteks dan pemahaman gereja lokal dengan beragam tradisi dan budayanya. Ini pekerjaannya para teolog, Imam, dan tokoh2 budayawan dan sosiolog Katholik kita. Maaf, mungkin benar bahwa tidak ada inkulturasi yang bertentangan dengan LITURGI…tapi liturgi macam apa yang dimaksud?? Liturgi yang dimaksudkan di sini tentu adalah Liturgi yang sesuai dengan pemahaman teologis iman kristiani yang benar, dan tentang hal itu kita harus dengan rendah hati dan hati2 mengatakan bahwa tidak semua usur2 lokal bisa begitu saja diadopsi dalam tradisi liturgi Gereja Katholik. Inkulturasi sebagai proses membutuhkan wacana untuk diuji coba, dipahami-memahami oleh kedua belah pihak (Pemahaman iman Katholik dan pemahaman unsur2 budaya lokal)dengan sama baiknya. Contoh konkret: ketika dalam tarian iringan persembahan yang memakai tarian budaya lokal, kelihatannya indah, harmonis, sangat berciri lokal, kaya dengan nilai seni…..tapi ketika dipelajari asal usulnya, tarian itu ternyata diadopsi dari salah satu corak tarian perang dari salah satu suku di Indonesia yang kemudian sudah dimodifikasi menjadi karya seni yang indah, memakai pernak-pernik kesukuan yang unik dan…..memakai pedang sebagai atribut tarian!! Bayangkan, mengiringi persembahan yang kudus, sakral, menyimbolkan karya kasih penebusan Tuhan kita Yesus Kristus…dengan tarian perang, pedang dan senjata..????!!! Belum lagi, kita harus hati2 atas begitu beragamnya corak budaya kita yang tidak selalu dipahami sama oleh satu dengan yang lainnya. Sebuah lagu atau tarian yang kelihatan sangat sakral bagi salah satu suku, bisa jadi dalam konsep pemahaman suku lainnya itu justru malah merupakan lelucon, kelihatan aneh dan lucu atau malah bermakna sebaliknya….ini bisa menimbulkan penafsiran yang keliru dalam konteks berliturgi kita. Contoh kecil saja, soal pemakaian kata dalam berliturgi: Kata DUPA(wirug, incense) dalam bahasa dan budaya kita itu berkaitan dengan hal yang suci, asap yang mengepul untuk menyucikan hal2 yang berkaitan dengan sakramen2 gereja…tapi dalam bahasa tertentu kata DUPA berarti…(maaf) pantat…!!(sekali lagi maaf, tapi ini benar) Dan kalo kita tidak memahami hal2 semacam ini, liturgi kita akan disalah tafsirkan dan ada bahaya menjadi makin jauh dari maksud asli iman Katolik… Maka patokan umum dalam berinkulturasi kiranya perlu diperhatikan: – Bahwa tradisi lokal itu harus memuat unsur2 universal dalam pemaknaannya-bisa diterima sama baiknya oleh orang2 dari pelbagai suku dan bangsa lainnya. – Harus sejalan dan selaras dengan maksud dan tujuan yang terkandung dalam Liturgi resmi Gereja Katholik – maka perlu ijin dan pengesahan pejabat resmi Gereja Katholik yang berwewenang dalam hal tersebut. – Dipahami baik oleh seluruh umat (maka perlu proses pembelajaran, sosialisasi, integrasi)….. – Inkulturasi tidak cukup hanya ‘kulitnya’, bukan hanya soal pakaian, atribut, nyanyian dan tarian, tapi juga pemahaman makna sejarah, latar belakang dan maksud yang terkandung di dalamnya…. Selamat berinkulturasi untuk memperkaya khazanah Gereja Katholik secara benar. Semoga terberkati. Salam hangat, P.Christianus Hendrik SCJ, South Dakota, USA PENCERAHAN DARI SDR. JOHANES OGENK JBSO Sedikit menmbahkan dari pencerahan dr Rm, Christianus Hendrik, SCJ…Inkulturasi adalah transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya asli yang diintegrasikan dlm kekatolikan ke dalam aneka budaya manusia yg berbeda-beda. Oleh sebab itu mnu…rutku inkuturasi adalah hub kreatif dan dinamis antara ajaran2 Kristiani dgn sebuah budaya atau berbagai budaya. Klo lihat cakupannya ini, otomatis inkulturasi tdk bisa dilepaskan dr sebuah teologi kontekstual (teologi yg mengindahkan konteks). Apa yang membuat teologi kontekstual ialah pengakuan keabsahan locus theologicus yang lain, yakni pengalam manusia sekarang ini. Teologi kontekstual menyadari bahwa kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran kontemporer dll harus dikaji, bersama dgn Kitab Suci dan Tradisi, sebagai sumber2 yg absah utk ungkapan teologis. belakangan ini dibilang bahwa teologi memiliki 3 sumber atau loci theologici: 1. Kitab Suci, 2. tradisi, 3. pengalaman manusia sekarang ini (konteks). sudahlah tepat jika inkulturasi dikembangkan dalam teologi budaya setempat…tergantung pada kearifan lokal…namun perlu sekali diperhatikan soal makna dari setiap kearifan lokal tersebut, apakah bertentangan atau tidak dgn kebijakan Gereja untuk menghindari cerut marut sakramen manjadi sakramentali. Untuk itulah dalam hal ini sangat diperlukan ijin dari Uskup Salam Dalam Damai Kristus Sumber : https://liturgiekaristi.wordpress.com/2011/07/13/1846/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan komentar yang tentunya bersifat membangun..trimakasih..